Kamis, 28 Desember 2017

“Bertakwalah kalian kepada Allah, dan sambunglah tali silaturrahim diantara kalian”.




«اتَّقُوا اللهَ وَصِلُوا أَرحَامَكُمْ »
“Bertakwalah kalian kepada Allah, dan sambunglah tali silaturrahim diantara kalian”.
(Hadits Hasan, Riwayat Ibnu ‘Asakir. Lihat Shahiihul jaami’ no.108)
  • Penjelasan
Hadits ini semakna dengan firman Allah  :
“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.” (Qs. An-Nisa: 1)
Dalam ayat ini Allah memanggil seluruh manusia, mengingatkan asal penciptaan mereka, kemudian memerintahkan agar bertakwa kepada Allah, Rabb yang menciptakan mereka dan keturunannya, serta perintah agar bersilaturahim kepada mereka yang masih memiliki keterikatan atau hubungan nasab.
Setelah Allah memperlihatkan kebesaran-Nya dalam hal penciptaan makhluk dan memerintahkan mereka agar bertakwa dan silaturahim, Allah menegaskan bahwa Dia Maha Mengawasi seluruh perbuatan mereka, baik berupa ketaatan terhadap perintah-Nya maupun berpaling darinya dan melalaikannya.
Terdapat banyak ayat dan hadits yang memaparkan pentingnya silaturahim dan bahaya memutusnya. Bahkan, kalau kita mau membaca sejarah kehidupan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, maka kita akan mendapati bahwa Beliau sangat memperhatikan masalah ini dan memanfaatkannya sebagai sarana dakwah ilallah.
Dalam masalah ini, manusia terbagi menjadi 3: penyambung, pemutus, dan mukafi (bersilaturahim dalam rangka membalas kebaikan yang pernah diberikan kepadanya).
Rasulullah shallallalu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mukafi tidaklah dikatakan bersilaturahim (yang sebenarnya). Akan tetapi, sebenar-benarnya silaturahim adalah disaat diputus hubungannya, dia terus bersilaturahim. (H.R al Bukhari)
Silaturahim merupakan amalan yang pahalanya disegerakan oleh Allah. Bahkan, merupakan sebab dilapangkannya rezeki, dipanjangkan umur, dan masuk kedalam surga.
Dan cukuplah sebagai keutamaan tatkala Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyifati orang yang bersilaturahim sebagai orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.
Sungguh indah, tatkala silaturahmi yang kita lakukan berbuah hidayah. Yaitu kerabat kita mendapatkan hidayah, mengenal tauhid dan sunnah. Oleh karenanya, jangan sia-siakan kerabat Anda. Bukalah pintu surga melalui silaturahm

Amalan Jariyah


Selasa, 19 Desember 2017

Kemuliaan hanyalah bagi orang-orang yang gigih mengendalikan dan memelihara diri

Musuh terbesar yang harus selalu kita waspadai adalah DIRI KITA SENDIRI..
Kita tak akan celaka KECUALI oleh diri kita sendiri.
Saat perang Badar, 300 kaum Muslimin BISA melawan hampir 1.000 orang.--->>> Perang yang sangat berat.
Ketika perang usai, Rasul SAW bersabda
"Kita baru menghadapi jihad yang kecil dan kita akan menghadapi jihad yang lebih besar lagi."
Sahabat bertanya, "Rasul, pertempuran seperti apakah itu?"
Tenyata jihad yang lebih besar adalah MELAWAN HAWA NAFSU
.
Kita sering lebih sibuk mengendalikan musuh lahir tanpa sibuk dengan musuh batin (tanpa sibuk mengendalikan diri sendiri), padahal mengendalikan diri seharusnya lebih diprioritaskan.
Musuh lahir hanyalah bonus dari Allah, sebagai pemicu dan alat agar kita memiliki kesempatan berjihad, sedangkan bersungguh-sungguh mengendalikan diri adalah fardhu 'ain.
Peperangan bukanlah masalah menang atau kalah.
Ketika Imam Ali akan menusuk lawannya, wajah beliau diludahinya, hingga beliau tak jadi membunuhnya.
Kemudian lawannya bertanya, "Ali, mengapa engkau tak membunuhku?"
Jawabnya, "Karena aku khawatir membunuhmu bukan karena Allah, tapi karena ludah."
Ketika dipukul oleh lawan, kita tak rugi, bahkan rasa sakit itu bisa menggugurkan dosa. Jika kita membalas agar lawan berhenti dari berbuat zalim, kita mendapat pahala.
Tapi jika kita membalas lebih, maka kitalah yang zalim.
Masalah terbesar bagi kita adalah mengendalikan hawa nafsu karena ia ibarat kuda.
Hawa nafsu (syahwat) adalah bagian dari karunia Allah, akan jadi amal saleh jika digunakan dengan niat dan cara yang benar, akan menjerumuskan jika tak ikendalikan.
Allah menciptakan setan sebagai musuh kita dan ia menjatuhkan kita melalui hawa nafsu. Kalau kita tak pandai mengendalikannya, ibarat kuda binal dengan setan sebagai pelatihnya.
Jika kuda tunduk pada kita, insya Allah kita akan lebih cepat mencapai tujuan maslahat dengan energi yang lebih efisien. Tapi kalau tak dikendalikan, akan seperti rodeo, membuat terombang-ambing, akhirnya terpelanting dan terinjak.
Mangapa masih ada orang yang tak bisa mengendalikan diri di bulan Ramadhan padahal setan saat itu dibelenggu?
Karena setan itu pelatih nafsu, kalau pelatihnya diikat, tetapi yang dilatihnya sudah terlatih, maka tetap saja dia bermaksiat.

Jika kita ingin tahu sampai sejauh mana pembinaan setan pada diri kita, lihatlah kemampuan kita mengendalikan diri di bulan Ramadhan.
Lalu, mulai dari mana kita mengendalikan nafsu?
Mulailah dari menjaga amarah, pikiran, lisan, pandangan, keinginan lainnya. Misalkan ketika marah, "Apakah kata-kata ini nasihat atau bagai pisau yang menghunjam dan mencabik-cabik?"
Mulut baru boleh berkata bila telah melalui proses perhitungan terbaik, setidaknya jangan berkata kecuali bermanfaat.
Ketika mata melihat sesuatu yang haram, jaga pandangan. Andai ingin merasakan manisnya iman, tahanlah pandangan, akrabkan mata dengan Alquran atau bacalah buku-buku yang bisa menambah ilmu.
Janganlah mengobral mata untuk melihat hal yang mengotori hati... Allah Maha Melihat bagaimana gigihnya kita menahan pandangan.
Kalau akan makan, "Halalkah ini?
Haruskah saya makan makanan semahal ini?
Dengan uang sejumlah ini berapa orang yang bisa kita beri makan?"
Jika sering bertanya seperti itu, maka nikmat makanan akan berpindah, bukan pada nikmat rasa, tapi pada nikmat syukur. Atau, "Kenapa saya harus memakai sepatu dan baju yang mahal? Bisakah uangnya dipakai membeli buku atau untuk kursus?"
Selalu mulai dengan pertanyaan. Allah Mahatahu bagaimana kegigihan kita meluruskan niat. Ketahuilah bahwa tabiat nafsu itu tak sebanding antara kesenangannya dengan akibat dan risiko yang harus dipikulnya.
Allah merancang kenikmatan itu sedikit dan sebentar.
Misalkan memakan makanan haram, nikmatnya sebentar, tapi akibatnya amal tak diterima selama 40 hari dan kalau jadi daging diharamkan surga baginya.
Bandingkanlah, kenikmatan sebentar dengan akibat tiada akhir yang dideritanya. 
Apa lagi yang bisa kita miliki kalau kita sudah tak bisa mengendalikan diri. Kalau kita tertipu dan diperbudak nafsu, lalu apa yang berharga pada diri kita.
Tak ada kemuliaan bagi orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu yang tak dijalan Allah.
Kemuliaan hanyalah bagi orang-orang yang gigih mengendalikan dan memelihara diri.
Semoga Allah SWT menggolongkan kita menjadi orang yang sanggup mengendalikan diri.

SABAR

Bersabarlah, karena semua ada masanya,,, Bersabarlah, maka kita akan mendapatkan lebih dari apa yang kita harapkan.

"Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh…” 
(HR.Bukhari dan Muslim dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud ra,).
Begitulah proses penciptaan manusia. Setiap insan telah melaluinya, langkah demi langkah. 
Setiap tahapan dalam proses pun telah diperhitungkan dengan cermat,tepat dan tanpa cacat sedikitpun.
Mengapa diperlukan proses tersebut? 
Bukankah Allah mampu menciptakan semua manusia sekaligus bila Ia menghendaki?. 
Lagi pula hanya Diialah Allah Sang Maha Kuasa, Maha Mengetahui?
Didalam proses kandungan makna mendalam. Sungguh Allah sebenarnya telah mendidik hamba-hambaNya semenjak ia berada dalam perut ibundanya, tarbiyah istimewa dariNya yang bertemakan kesabaran. Ada proses yang harus dilalui dan itu membutuhkan kesabaran
Kesabaran terhadap segala sesuatu yang telah ia tetapkan, kesabaran dalam menjalani perintah-perintahNya, meski sungguh teramatlah mudah bagi Allah sang Maha Pencipta untuk menciptakan manusia sekaligus. Namun Allah menghendaki manusia menjalani proses dan bagaimana menjalani tahapan demi tahapan dengan bersabar.
Bila bukan karena kesabaran dan ketabahan, tentulah Siti Hajar tidak akan mondar-mandir, pulang dan pergi antara dua gunung yang kecil, shafa dan marwah sebanyak tujuh kali demi mendapatkan setetes air untuk putranya, ismail.
Contoh kesabaran juga bisa diambil dari kisah Nabi Yusuf yang dibuang ke sumur oleh saudara-saudaranya, terpisah dari ayah kandungnya, dan dipenjara sebagai tahanan, hingga pada akhirnya ia menjadi seorang penguasa Mesir. Nabi Yusuf melalui perjalanan yang amat panjang.
Sebagaimana pula Rosulullah saw yang rela dicerca dan dilempari batu hingga cedera pada kedua kaki Rasulullah oleh kaum Bani Tsaqif ketika beliau hijrah ke Thaif. 
Begitulah proses langkah demi langkah yang akan senantiasa berlanjut hingga batas waktu yang telah ditentukan.
Seorang anak kecil tak lantas tiba-tiba mampu berjalan. Ia harus merangkak. Itu pun tak bisa dilakukan ketika si bocah masih di bawah sembilan bulan.
Saat pertama berjalan pun tak lantas ia bisa langsung berlari. Kadang keseimbangan sering hilang dan terjatuh. Butuh beberapa waktu lagi bagi si bocah untuk bisa benar-benar berjalan seimbang. Itulah waktu yang telah ditentukan dan tak bisa dielakkan dalam tahapan proses.
Namun dalam menjalani proses, sering kali manusia ingin mempercepat waktu. 
Contoh paling mudah saat ingin sembuh dari sakit. 
Ada usaha yang harus dilalui untuk mendapatkan kesembuhannya dan ketika meminum obat dari dokter pun terdapat syarat seperti sekali sehari, 2 kali sehari atau 3 kali sehari.
Tidak bisa kesembuhan diraih dengan serta merta meminum semua obat sekaligus. Justru ketika pasien melakukan hal tersebut akan mengakibatkan over dosis. Sifat ketergesaan inilah yang kerap menguasai seseorang dan membuat manusia sulit bersabar.
Senantiasa terdapat efek samping yang negatif dari tergesa-gesa. Manusia mudah melupakan segalanya dan senantiasa ingin mendapatkan apa yang diinginkannya dengan sesegera mungkin
Sebagaimana dalam beberapa firmannya 
“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perlihatkan kepadamu tanda-tanda (adzab)-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera” 
(QS. al-Anbiya’: 37).
Proses kehidupan perlu dilalui dengan sabar dan tenang, langkah demi langkah sebagaimana Allah mengajarkan proses terciptanya manusia.
Bersabarlah, karena semua ada masanya, seperti pelajaran ulat yang beralih rupa menjadi kupu-kupu elok. 
Bersabarlah, maka kita akan mendapatkan lebih dari apa yang kita harapkan. 
Justru sikap tergesa-gesa hanya membuat banyak energi terbuang sia-sia, membuat banyak ajaran dan petunjuk dari Allah terabaikan dan bahkan apa yang diupayakan bisa berakhir buruk, mirip dengan efek over dosis. Wallahua’lam.

Data Masjid Baitul Jannah


RENUNGAN: Jangan Merasa Bangga Diri dengan Amal Kita


Ada 4 pria berbicara mengenai amal ibadah mereka dan kesuksesan yang didapatnya:
Pria 1 : Alhamdulillah, sejak sering shalat dhuha rejeki menjadi lancar. Bisnis sukses, sebentar lagi anak saya lulus smu rencananya akan sekolah ke luar negeri.
Pria 2 : Bukan main, hebat sekali, sejak naik haji ibadah semakin rajin, alhamdulillah anak juga sukses rumahnya harganya milyaran, belum lagi kendaraannya. Sebagai orang tua sangat bangga, berkat doa dan didikan saya.
Pria 3 : MasyaAllah, sungguh nikmat tak terkira sejak rajin puasa dan bersedekah, rezeki bagaikan sungai mengalir tidak ada putus-putusnya. Anak baru selesai kuliah di luar negeri sekarang jadi staff khusus Mentri.
Ketiga pria tersebut kemudian melirik pria 4 sejak tadi hanya terdiam. salah satu bertanya pada pria 4. “bagaimana dirimu? Mengapa diam saja?”.
Pria 4 : Saya tidak sehebat kalian, jangankan kesuksesan bahkan saya tidak tahu ibadah saya lakukan diterima oleh Allah SWT atau tidak. Saya mengetahui ibadah saya diterima dan sukses setelah saya meninggal nanti. Jadi saya merasa belum bisa menceritakan ibadah yang saya lakukan dan balasan yang Allah berikan kepada saya.
Sifat Hamba Beriman
Sikap orang shalih penghuni surga yang diabadikan Al-Qur'an, bersungguh-sungguh dalam ibadah kepada Allah dan takut kalau-kalau ibadahnya tidak diterima. Bahkan, lebih dari itu, ia beranggapan amalnya tidak pantas diterima oleh Allah. Banyak cacat dan kekurangan dalam ibadah yang mereka tegakkan sehingga istighfar senantiasa terucap dari lisan mereka. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
"Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka." (QS. Al-Mukminun: 60)
Aisyah Radliyallaahu 'Anha berkata, “Aku telah bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam tentang ayat ini, apakah mereka orang-orang yang minum khamer, pezina, dan pencuri? Beliau  menjawab, “Tidak, wahai putri al-Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, menunaikan shalat dan shadaqah namun mereka takut kalau amalnya tidak diterima.” (HR. Muslim, kitab al Imarah, bab Man Qatala li al-Riya wa al-Sum’ah Istahaqqa al-Naar, no. 1905)
Allah Subhanahu Wa Ta'ala menyebutkan beberapa sifat penghuni surga dari orang-orang muttaqin dengan banyak istighfarnya (memohon ampunan) kepada-Nya.
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍآخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." (QS. Al-Dzaariyat: 15-18)
Ibnu Katsir menyebutkan penafsiran sebagian ulama terhadap ayat terakhir, "Mereka shalat malam dan mengakhirkan (melanjutkannya,-red) istighfar sampaia waktu sahur (menjelang shubuh)." Jadi mereka itu adalah orang-orang yang mengisi hidupnya dengan kebaikan. Mereka banyak amal dengan harta dan fisik mereka. Tapi dipenghujung malam, selepas mengerjakan shalat malam yang panjang, mereka memohon ampun atas dosa dan kesalahan.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Puas dengan ketaatan yang telah dilakukan adalah di antara tanda kegelapan hati dan ketololan. Keraguan dan kekhawatiran dalam hati bahwa amalnya tidak diterima harus disertai dengan mengucapkan istighfar setelah melakukan ketaatan. Hal ini karena dirinya menyadari bahwa ia telah banyak melakukan dosa-dosa dan banyak meninggalkan perintah-Nya."
Jangan Bersandar Pada Amal
Sebab dari ketertipuan ini adalah sikap bersandar kepada amal secara berlebih. Ini akan melahirkan kepuasan, kebanggaan, dan akhlak buruk kepada Allah Ta’ala. Orang yang melakukan amal ibadah tidak tahu apakah amalnya diterima atau tidak. Mereka tidak tahu betapa besar dosa dan maksiatnya, juga mereka tidak tahu apakah amalnya bernilai keikhlasan atau tidak. Oleh karena itu, mereka dianjurkan untuk meminta rahmat Allah dan selalu mengucapkan istighfar karena Allah Mahapengumpun dan Mahapenyayang.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radliyallah 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا
"Sungguh amal seseorang tidak akan memasukkannya ke dalam surga." Mereka bertanya, "tidak pula engkau ya Rasulallah?" Beliau menjawab, "Tidak pula saya. Hanya saja Allah meliputiku dengan karunia dan rahmat-Nya. Karenanya berlakulah benar (beramal sesuai dengan sunnah) dan berlakulah sedang (tidak berlebihan dalam ibadah dan tidak kendor atau lemah)." (HR. Bukhari dan Muslim, lafadz milik al-Bukhari)
Sesungguhnya seseorang tidak akan masuk surga kecuali dengan rahmat Allah. Dan di antara rahmat-Nya adalah Dia memberikan taufiq untuk beramal dan hidayah untuk taat kepada-Nya. Karenanya, dia wajib bersyukur kepada Allah dan merendah diri kepada-Nya.
Tidak layak hamba bersandar kepada amalnya untuk menggapai keselamatan dan mendapatkan derajat tinggi di surga. Karena tidaklah dia sanggup beramal kecuali dengan taufiq Allah, meninggalkan maksiat dengan perlindungan Allah, dan semua itu berkat rahmat dan karunia-Nya.
Seorang hamba tidak pantas membanggakan amal ibadahnya yang seolah-olah bisa terlaksana karena pilihan dan usahanya semata, apalagi ada perasaan telah memberikan kebaikan untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan amal ibadah hamba-hamba-Nya. Dia Mahakaya, tidak butuh kepada makhluk-Nya. Wallahu Ta'ala A'lam
http://www.voa-islam.com/read/aqidah/2015/01/16/35075/renungan-jangan-merasa-bangga-diri-dengan-amal-kita/#sthash.1RMgyNNK.dpbs